Mendidik Niat




Ada hadist yang perlu kita renungkan, di saat Allah Ta’ala limpahkan rezeki yang berlebih maupun ketika rezeki yang ada pada kita terasa pas-pasan, atau bahkan kurang dari apa yang kita perlukan untuk hidup sehari-hari.  Renungkan sejenak sabda Nabi Muhammad shallallah’alahi wa sallam:

“Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang.  (Pertama),
hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada Allah dalam hartanya, dengan ia menyambung silahturahmi, dan ia menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allah.  Inilah kedudukan paling baik (di sisi Allah).  (Kedua), hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’  Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama.  (Ketiga), hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu, lalu ia menggunakan hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silahturahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allah.  Ini adalah kedudukan paling jelek (di sisi Allah).  Dan (keempat) hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’  Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang sama.” (Riwayat Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Baghawi dan Ath-Thabrani).



Ada pelajaran berharga yang dapat kita renungkan dari hadis ini.  Pertama, niat baik yang jujur dapat menjadi sebab Allah Ta’ala limpahkan pahala sebagaimana orang yang dimampukan Allah Ta’ala untuk beramal shalih dengan amalan yang baik, besar dan sesuai tuntunan.  Sebaliknya, niat yang buruk pun jika itu merupakan hal yang sungguh-sungguh diniatkan, akan mengantarkan kepada dosa sebanyak orang yang melakukannnya.

Mari kita ingat sejenak sabda Nabi Shallallahu’ alahi wa sallam:

“Barangsiapa menginginkan (berbuat) kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan ditulis untuknya.  Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya.  Dan barangsiapa menginginan keburukan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa baginya.  Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya.” (Riwayat Muslim).

Ini merupakan pelajaran berharga bagi kita betapa pentingya Mendidik niat agar yang senantiasa hidup dalam diri kita adalah Keinginan yang kuat untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang Allah Ta’ala ridhai.  Pada saat yang sama, kita berusaha untuk menepis niat buruk dan tidak main-main dengannya.  Meski lintasan Keinginan untuk melakukan keburukan belum terhitung dosa, tetapi jika ia kita biarkan menguat menjadi tekad atau kita ungkapkan kepada orang lain mendorong kepadanya untuk berbuat. Maka boleh jadi kita mendapatkan dosa tanpa ikut melakukannnya.  Ini terjadi karena kitalah yang mengispirasi orang tersebut melakukan keburukan.  Maka berhati-hatilah dengan niat buruk yang muncul pada dalam diri kita.  Jangan mengungkapkannya kepada orang lain.

Perhatikan kembali hadis pertama dalam catatan ini.  Semoga Allah Ta’ala limpahkan hidayah kepada kita semua.

Pelajaran lain yang dapat kita petik adalah, niat yang jujur mengantarkan kita meraih pahala sebanyak orang yang benar-benar melakukannnya.  Mari kita Perhatikan sekali lagi: niat yang jujur.  Artinya, ini benar-benar menjadi Keinginan kuat kita.  Kita mampu melakukannnya, terobsesi dengan amalnya; bukan hartanya.  Yang senantiasa menjadi kerinduan kita adalah amal yang baik tersebut.  Bersebab niat yang jujur itulah Allah Ta’ala berikan kepada kita pahala yang sama besarnya dengan orang yang telah benar-benar melakukan kebaikan itu.

Niat yang jujur berati, ia melakukan Upaya-upaya untuk mendekatkan dirinya kepada amal shalih tersebut, hingga bisa dia tunaikan Tatkala ada kesempatan baginya.  Wallahu a’lam bish-shawab.

Upaya untuk Mendidik niat dapat saja kita lakukan dengan menuliskan dalam catatan kita atau dalam bentuk rencana.  Tetapi berhati-hatilah dari berpajang angan-angan.  Kita menuliskan, sekiranya kita melakukan  itu, untuk Mendidik niat kita dan belajar melakukan sesuatu secara terencana.

Di luar rencana itu, kita harus terus-menerus berusaha untuk berserah diri kepada Allah Ta’ala seraya senantiasa memeriksa adakah yang kita inginkan tersebut termasuk amal shalih yang Allah Ta’ala ridhai?

Boleh jadi seorang telah memiliki niat kuat untuk melakukan kebaikan.  Semoga ia mendapatkan pahala dari niat baiknya tersebut.  Tetapi ia keliru dalam hal menilai apa yang ia akan lakukan. Ia menyangka kebaikan, padahal bukan termasuk bagian dari ketaatan maupun kebaikan yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla.

Itu sebabnya, selain Mendidik niat, kita juga perlu terus-menerus belajar untuk yang kita tekadkan dan lakukan.  Sesungguhnya, nilai amal terletak pada dua perkara, yakni iklash dan benar.  Ikhlas berarti amal tersebut kita lakukan hanya untuk mengharapkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla; benar, berarti kita melakukan sesuai tuntunan Allah subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallaallah’alahi wa sallam.

Sebagaian orang berkata:

“Tuliskan rencanamu dengan sebuah pensil, namun berikan penghapusnya kepada Allah.  Karena Dia akan menghapus bagian yang salah.”

Kalimat tersebut sepintas tanpak baik, tetapi ada beberapa kesalahan serius di dalamnya.  Pertama, merupakan tugas kita untuk senantiasa memeriksa apakah amal kita, termasuk Keinginan dan rencana kita, merupakan perkara yang dibenarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atau tidak.

Kedua, Allah Ta’ala bukan editor atas niat kita, tekad kita dan rencana-rencana kita.  Yang harus kita lakukan adalah senantiasa berusaha untuk melakukan hal yang baik, mengetahui dan mengerti apa yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita dalam berbagai keadaan, serta menyadari tiada daya dalam upaya selain semata-mata karena Allah Ta’ala semata.

Ketiga, Kalimat “Tuliskan rencanamu dengan sebuah pensil, namun berikan penghapusnya kepada Allah” amat retan menjerumuskan kita kepada ghurur (terkelabui).  Kita menganggap bahwa diri kita benar, baik dan sempurna dan penggenggam kekuasaaan sehingga dengannya kita dapat “Memberikan” atau “Tidak memberikan” penghapusnya kepada Allah Ta’ala.  Jika kita tak berhati-hati, ia bahkan dapat menjatuhkan kita ke dalam keadaan bersombong kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Keempat, kesalahan tetaplah merupakan kesalahan yang menjadikan kita memperoleh banyak dosa sebanyak yang dilakukan.  Sehingga kita tak dapat berlepas-tangan dirinya karena merasa telah “Memberikan penghapusnya kepada Allah”. Kesalahan hanya bisa dihapus dengan senantiasa memohon maaf dan ampunan kepada Allah Ta’ala.

Kelima, jika kita tidak mampu mewujudkan kebaikan yang menjadi tekad dan niat kita, bukan berarti itu merupakan bagian yang salah.  Ia tetap menjadi sebab Allah Ta’ala limpahkan pahala kepada kita jika kita benar-benar jujur dengan niat kita.  Wallahu a’lam bshshawab.*  (Mohammad Fauzil Adhim,  contributor tetap ada majalah Suara Hidayatullah).
banner
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: