Tiba-tiba saja Kiai Jabrohim membakar masjid. Beliau membawa empat jeriken bensin dan menumpahkannyya ke dalam dan sekeliling masjid. Masjid pun dibakarnya hingga api menyala-nyala seperti ingin membakar langit. Percikan api menyebar terbawa angin. Untung saja tempat masjid terpisah dengan bangunan lain sehingga api tidak membakar bangunan lain.
Maka, gemparlah seluruh warga kampung. Orang-orang bertanya-tanya dalam hatinya. Sebagian lainnya berdiskusi di warung-warung. Di gardu ronda, anak-anak muda membincangkannya sambil bermain dadu. Tema ngerumpi ibu-ibu pun ikut berganti seputar keputusan Kiai Jabrohim itu. Tak Kalah kagetnya adalah segnap orang terpandang di kampung tersebut. Tapi, tidak ada yang berani menemui Kiai Jabrohim. Semua diam, seakan takut berhadapan dengan malaikat maut. Wibawa yang terpancar dari wajah tua itu, siapakah yang berani menentangnya ?
Lagi pula masjid itu milik Kiai Jabohim sendiri. Lebih tepatnya, milik kakek Kiai Jabrohm yang diwariskan turun-temurun seiring dengan pengelolaan pesantren yang sekarang dipegangnya. Orang-orang pun hanya memendam tanya.
Keheranan orang banyak sebenarnya sudah muncul sejak sebulan yang lalu. Mula-mula, datang rombongan berkendara mobil mewah. Para penumpangnya berdasi rapi. Sepatu mereka berkilat. Bibir mmereka penuh senyum, tubuh mereka gemuk oleh tumpukan lemak. Kepulan asap seperti tak lepas-lepasnya dari bibir mereka. Sesekali, terjadi saling lirik di antara rombongan yang terdiri dari enam orang itu. Salah seorang dari rombongan segera menghampiri seorang santri. Santri itu sedang duduk di serambi Masjid sambil memegang Juz Amma. Mungkin santri itu sedang mengejar hapalan Juz Amma.
"Assalamualaikum.... Bisakah kami menumpang salat?" tanya mereka. Santri itu menunjukan tempat wudu. Dipinjamkanya sandal jepit yang beda warnanya.. Satu berwarna merah tua, satu lagi biru muda warnanya. Biasa dan memang hanya itu yang tersedia. Bila memmang ingin sandal yang "Murni", sepasang penuh, tentu harus membeli sepasang sandal baru. Untungnya, rombongan itu tidak menggerutu. Satu per satu mereka berwudhu. Lalu, sembahyang Dzuhur di dalam Masjid.
Belum ada sepuluh menit rombongan itu selesai sholat Dzuhur. Rombongan itu kembali menghampiri santri yang berada di Serambi. Mereka menumpang bertanya. Orang-orang itu ingin bertemu Kiai Jabrohim. Para santri segera menunjuk orangtua yang sedang mencangkul tanah di samping Masjid. Beberapa sayuran tumbuh di samping masjid itu. Semuannya ditanam oleh Kiai Jbrohim. Sesekali bila ada waktu luang, Kiai Jabrohim menyiraminya. Sesekali pula bila ada jenis tanaman baru yang disukainya, Kiai Jabrohim pun menamanya di samping masjid itu. Hingga, tampaklah samping masjid itu seperti taman bunga yang sedemikian indahnya.
"Assalamualaikum.... Bisakah kami menumpang salat?" tanya mereka. Santri itu menunjukan tempat wudu. Dipinjamkanya sandal jepit yang beda warnanya.. Satu berwarna merah tua, satu lagi biru muda warnanya. Biasa dan memang hanya itu yang tersedia. Bila memmang ingin sandal yang "Murni", sepasang penuh, tentu harus membeli sepasang sandal baru. Untungnya, rombongan itu tidak menggerutu. Satu per satu mereka berwudhu. Lalu, sembahyang Dzuhur di dalam Masjid.
Belum ada sepuluh menit rombongan itu selesai sholat Dzuhur. Rombongan itu kembali menghampiri santri yang berada di Serambi. Mereka menumpang bertanya. Orang-orang itu ingin bertemu Kiai Jabrohim. Para santri segera menunjuk orangtua yang sedang mencangkul tanah di samping Masjid. Beberapa sayuran tumbuh di samping masjid itu. Semuannya ditanam oleh Kiai Jbrohim. Sesekali bila ada waktu luang, Kiai Jabrohim menyiraminya. Sesekali pula bila ada jenis tanaman baru yang disukainya, Kiai Jabrohim pun menamanya di samping masjid itu. Hingga, tampaklah samping masjid itu seperti taman bunga yang sedemikian indahnya.
Rombongan segera menemui Kiai Jabrohim. Mereka bersalam-salaman. Di bibir mereka bertebaran senyum. Kiai Jabrohim menganguk-anggukkan kepalanya. Tapi agak lama kemudian, Kiai Jabrohim menggeleng-gelengkan kepalanya, lebih dari anggukan kepalanya. Tapi Kiai Jabrohim tetap tersenyum. Bibir orang-orang dalam rombongan itu tak lagi tersenyum. Wajah mereka seperti tegang. Lalu, mereka bersalam-salaman kembali. Rombongan itu pergi dengan uluk salam. Tapi, tanpa senyum di bibir mereka. Rombongan meninggalkan pesantren dengan bunyi klakson yang membelah langit.
Seminggu kemudian, rombongan itu datang lagi. Kali ini, rombongan itu membawa dua mobil mewah. Tapi jumlah rombongan itu masih tetap. Tiga orang berada di dalam mobil yang di depan. Tiga orang lainnya berada di dalam mobil yang di belakang. Rombongan itu tidak datang menjelang sholat Dzuhur. Karena itulah, mereka langsung menemui Kiai Jabrohim yang berada di serambi rumahnya. Kiai Jabrohim sedang mendampingin seorang santri yang sedang menyetor hapalan. Rombongan itu tepat berada di depan Kiai Jabrohim sesaat setelah ngaji santri selesai. Santri memohon ijin meninggalkan tempat itu.
Kiai Jabrohim dan rombongan itu bersalam-salaman. Bibir mereka penuh
senyum. Seorang dari mereka mengangguk-naggukkan kepalannya. Sebagian lainnya
memandang Kiai Jabrohim dengan penuh perhatian. Tapi, Kiai Jabrohim
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kali ini Kiai Jabrohim tak tampak menganggukkan
kepalanya, sekali pun. Seorang dari rombongan menyerahkan sebih kunci mobil
kepada Kiai Jabrohim. Kunci mobil itu diletakkan di atas bangku ngaji.
Rombongan itu lalu segera amit undur diri, kunci itu masih tergeletak di bangku
ngaji dn rombongan pun pergi dengan sebuah mobil mewah. Sebuah mmpbil teronggok
tepat di depan halaman Masjid. Kiai Jabrohi masuk ke dalam rumahnya. Kunci itu
tak pernah diambilnya.
Belum ada tiga hari, rombongan mobil iu datang kembali,
kali ini tepat saat Kiai Jabrohim berada di dimasjid menjadi imam salat. Rombongan
itu segera menghampiri Kiai Jaborhim. Rombongan itu seera uluk salam, Kiai
Jabrohim tersenyum simpul.
“Ingin numpang salat?” tanya Kiai Jabrohim. Rombongan itu terdiam tidak menjawab.
Salah seorang dari mereka menganggukkan kepalanya, agak ragu-ragu.
“Masjid ini tidak bisa
menampung orang-orang seberat Anda. Bila anda memaksa masuk, masjid ini bisa
roboh alias ambruk. Saat ini saja, masjid sudah dalam kondisi agak rusak.
Makanya saya merencanakan untuk memperbaikinya. Maafkan saya bila tidak
bersedia mempersilahkan Anda ikut salah di masjid ini. Masjid ini bisa roboh
bila anda ikut salat di sini. Terima kasih bila Anda berkenan tidak salat di
sini. Oh yah, moobil mewah itu kurang cocok untuk saya. Saya bukan pejabat, dan
bukan pula politisi. Saya hanya ingin ngaji dan menemani santri-santri saya.
Kunci mobil itu masih di tempat kemarin Anda meleakkannya. Maaf, saya harus
mengimamin salat. Assalamualaikum....”
Kiai Jabrohim meanggukkan kepala sambil tersenyum. Ia lalu bergegas masuk
masjid untuk mengimami salat. Para santri dan beberapa warga yang ingin salat
Dzuhur mengikuti Kiai Jabrohim dengan tanya tanya. Rombongan itu datang tak
bicara apa pun. Mereka pergi dengan satu mobil, mobil mewah di depan masjid
masih teronggok seperti hendak diikutkan sebuah pameran mobil mewah.
Ternyata orang-orang dalam rombongan itu tidak pernah bosan
dan kapok. Mereka datang lagi seminggu kemudian. Rombongan yang lain lalu
datang ke pesantren, berganti-ganti. Orang-orangnya pun berbeda-beda, kadang
laki semua, kadng bercampur perempuan. Rombongan-rombongan itu datang dengan
mulut tersenyum. Tapi mereka pulang dengan wajah seperti rembulan kehilangann
cahanya. Sebagian dari mereka menumpang salat di masjid, sebagian lainnya hanya
duduk-duduk di serambi masjid. Selanjutnya, rombongan-rombongan itu datang
hampir setiap hari. Tak jarang, sehari datang tiga hingga empat rombongan. Selalu
seperti itu hingga kegemparan itu pun terjadi. Kiai Jabrohim tiba-tiba saja
membakar masjid di Pesantren itu.
Tak hanya para santri yang kaget. Tapi warga yang tinggal
di sekitar pensantren pun herran tak alang-kepalang. Api itu belum seluruhnya
padam, meski pembakaran masjid itu sudah lewat sehari, tidak ada yang berani
mematikan api pembakaran. Tidak ada yang nekat memanggil polisi ataupun petugas
pemadam kebarakan. Kiai Jabrohm lalu menganjurkan para santri untuk pulang
kampung. Kiai Jabrohim ingin menyendiri, pesantren pun diliburkan total hingga
ada pemberitahuan selanjutnya. Para santri telah pergi ke rumah masing-masing.
Hanya seorang santri senior yang mendampingi Kiai Jabrohim. Soleh, nama sanri
senior itu. Kiai Jabrohim tegap menatap reruntuhan masjid, di sampingnya Sholeh
berdiri dengan tawaduk, mendampingin Kiainya.
“Kenapa Kiai
membakarnya?” Sholeh memecah keheningaan.
“Masjid itu, maksudmu?”
“Ya, Kiai.”
“Engkau tahu, apa
maksudku membakar masjid itu?”
“Tuhan yang lebih tahu,
Kiai.”
“Masjid itu sudah
saatnya dirobohkan....”
“Maksud Kiai?”
“Masjid itu sudah tidak
suci lagi!”
“Para santri bisa
membersihkannya tiap hari,, Kiai....”
“Air suci sudah tidak
bisa lagi digunakan untuk mensucikan masjid itu. Masjid itu tidak najis oleh
tahi kucing apalagi tahi tikus. Tidak pula kencing anak kecil, cipratan darah
dan nanah. Kemarin, orang-orang yang datang dengan mobil mewah itu telah
membuang tahi mereka di dalam masjid. Sebelum pulang, mereka memercikkan
keringat ke seluruh dinding masjid. Mereka kumpulkan tahi mereka, tahi keluarga
mereka, tahi teman-teman mereka lalu menumpahkannya di masjid. Setiap saat,
orang-orang itu memeras keringat, lalu keringat keluarganya, keringat
teman-temannya, da keringat orang-orang kecil di sekelliling mereka. Keringat orang-orang
yang datang dengan mobil itu sudah tidak memiliki bau lagi....”
“Maksud Kiai?”
“Bau keringat mereka
tidak tersedia lagi di dunia ini!”
Sholeh terrdiam. Agak bingung dia mencerna ucapan Kiai yang
sangat dihormati dan diseganinya itu. Baru kali ini Sholeh sulit mencerna
ucapan kiainya. Bertahun-tahun Sholeh mengaji, tapi cuapan Kiai Jabrohim saat
ini lebih sulit daripada menghapal rausan Alfiyah yang hingga kini sangat
dibanggakannya. Kiai Jabrohim masih tetap tegap menapat sisa pembakarnn masjid.
Sholeh juga tegak di sampingnya. Mulut mereka tersenyum menatap ke depan.
Sebagian abu bekas pembakaran terbang terbawa angin. Sebagian
lainnya, melayang menuju sebuah mobil mewah yang masuk ke halaman pesantren.
Mobil itu berhenti, tapi segera keluar kembali dari halaman pesantren. Tanpa
tersenyum dan tanpa kata-kata.
(M. Thobroni, “Kiai
Jabrohim Membakar Masjid”,
dalam kumpulan cerpen Daftar
Hitam Dendam, 2003)
0 Please Share a Your Opinion.: