Cerita Pendek (Cerpen) Kiai Jabrohim Membakar Masjid Oleh M. Thobroni






















Tiba-tiba saja Kiai Jabrohim membakar masjid. Beliau membawa empat jeriken bensin dan menumpahkannyya ke dalam dan sekeliling masjid. Masjid pun dibakarnya hingga api menyala-nyala seperti ingin membakar langit. Percikan api menyebar terbawa angin. Untung saja tempat masjid terpisah dengan bangunan lain sehingga api tidak membakar bangunan lain.



Maka, gemparlah seluruh warga kampung. Orang-orang bertanya-tanya dalam hatinya. Sebagian lainnya berdiskusi di warung-warung. Di gardu ronda, anak-anak muda membincangkannya sambil bermain dadu. Tema ngerumpi ibu-ibu pun ikut berganti seputar keputusan Kiai Jabrohim itu. Tak Kalah kagetnya adalah segnap orang terpandang di kampung tersebut. Tapi, tidak ada yang berani menemui Kiai Jabrohim. Semua diam, seakan takut berhadapan dengan malaikat maut. Wibawa yang terpancar dari wajah tua itu, siapakah yang berani menentangnya ?



Lagi pula masjid itu milik Kiai Jabohim sendiri. Lebih tepatnya, milik kakek Kiai Jabrohm yang diwariskan turun-temurun seiring dengan pengelolaan pesantren yang sekarang dipegangnya. Orang-orang pun hanya memendam tanya.





Keheranan orang banyak sebenarnya sudah muncul sejak sebulan yang lalu. Mula-mula, datang rombongan berkendara mobil mewah. Para penumpangnya berdasi rapi. Sepatu mereka berkilat. Bibir mmereka penuh senyum, tubuh mereka gemuk oleh tumpukan lemak. Kepulan asap seperti tak lepas-lepasnya dari bibir mereka. Sesekali, terjadi saling lirik di antara rombongan yang terdiri dari enam orang itu. Salah seorang dari rombongan segera menghampiri seorang santri. Santri itu sedang duduk di serambi Masjid sambil memegang Juz Amma. Mungkin santri itu sedang mengejar hapalan Juz Amma.

"Assalamualaikum.... Bisakah kami menumpang salat?" tanya mereka. Santri itu menunjukan tempat wudu. Dipinjamkanya sandal jepit yang beda warnanya.. Satu berwarna merah tua, satu lagi biru muda warnanya. Biasa dan memang hanya itu yang tersedia. Bila memmang ingin sandal yang "Murni", sepasang penuh, tentu harus membeli sepasang sandal baru. Untungnya, rombongan itu tidak menggerutu. Satu per satu mereka berwudhu. Lalu, sembahyang Dzuhur di dalam Masjid.


Belum ada sepuluh menit rombongan itu selesai sholat Dzuhur. Rombongan itu kembali menghampiri santri yang berada di Serambi. Mereka menumpang bertanya. Orang-orang itu ingin bertemu Kiai Jabrohim. Para santri segera menunjuk orangtua yang sedang mencangkul tanah di samping Masjid. Beberapa sayuran tumbuh di samping masjid itu. Semuannya ditanam oleh Kiai Jbrohim. Sesekali bila ada waktu luang, Kiai Jabrohim menyiraminya. Sesekali pula bila ada jenis tanaman baru yang disukainya, Kiai Jabrohim pun menamanya di samping masjid itu. Hingga, tampaklah samping masjid itu seperti taman bunga yang sedemikian indahnya.





Rombongan segera menemui Kiai Jabrohim. Mereka bersalam-salaman. Di bibir mereka bertebaran senyum. Kiai Jabrohim menganguk-anggukkan kepalanya. Tapi agak lama kemudian, Kiai Jabrohim menggeleng-gelengkan kepalanya, lebih dari anggukan kepalanya. Tapi Kiai Jabrohim tetap tersenyum. Bibir orang-orang dalam rombongan itu tak lagi tersenyum. Wajah mereka seperti tegang. Lalu, mereka bersalam-salaman kembali. Rombongan itu pergi dengan uluk salam. Tapi, tanpa senyum di bibir mereka. Rombongan meninggalkan pesantren dengan bunyi klakson yang membelah langit.

Seminggu kemudian, rombongan itu datang lagi. Kali ini, rombongan itu membawa dua mobil mewah. Tapi jumlah rombongan itu masih tetap. Tiga orang berada di dalam mobil yang di depan. Tiga orang lainnya berada di dalam mobil yang di belakang. Rombongan itu tidak datang menjelang sholat Dzuhur. Karena itulah, mereka langsung menemui Kiai Jabrohim yang berada di serambi rumahnya. Kiai Jabrohim sedang mendampingin seorang santri yang sedang menyetor hapalan. Rombongan itu tepat berada di depan Kiai Jabrohim sesaat setelah ngaji santri selesai. Santri memohon ijin meninggalkan tempat itu.


Kiai Jabrohim dan rombongan itu bersalam-salaman. Bibir mereka penuh senyum. Seorang dari mereka mengangguk-naggukkan kepalannya. Sebagian lainnya memandang Kiai Jabrohim dengan penuh perhatian. Tapi, Kiai Jabrohim menggeleng-gelengkan kepalanya. Kali ini Kiai Jabrohim tak tampak menganggukkan kepalanya, sekali pun. Seorang dari rombongan menyerahkan sebih kunci mobil kepada Kiai Jabrohim. Kunci mobil itu diletakkan di atas bangku ngaji. Rombongan itu lalu segera amit undur diri, kunci itu masih tergeletak di bangku ngaji dn rombongan pun pergi dengan sebuah mobil mewah. Sebuah mmpbil teronggok tepat di depan halaman Masjid. Kiai Jabrohi masuk ke dalam rumahnya. Kunci itu tak pernah diambilnya.


Belum ada tiga hari, rombongan mobil iu datang kembali, kali ini tepat saat Kiai Jabrohim berada di dimasjid menjadi imam salat. Rombongan itu segera menghampiri Kiai Jaborhim. Rombongan itu seera uluk salam, Kiai Jabrohim tersenyum simpul.

“Ingin numpang salat?” tanya Kiai Jabrohim. Rombongan itu terdiam tidak menjawab. Salah seorang dari mereka menganggukkan kepalanya, agak ragu-ragu.

“Masjid ini tidak bisa menampung orang-orang seberat Anda. Bila anda memaksa masuk, masjid ini bisa roboh alias ambruk. Saat ini saja, masjid sudah dalam kondisi agak rusak. Makanya saya merencanakan untuk memperbaikinya. Maafkan saya bila tidak bersedia mempersilahkan Anda ikut salah di masjid ini. Masjid ini bisa roboh bila anda ikut salat di sini. Terima kasih bila Anda berkenan tidak salat di sini. Oh yah, moobil mewah itu kurang cocok untuk saya. Saya bukan pejabat, dan bukan pula politisi. Saya hanya ingin ngaji dan menemani santri-santri saya. Kunci mobil itu masih di tempat kemarin Anda meleakkannya. Maaf, saya harus mengimamin salat. Assalamualaikum....” Kiai Jabrohim meanggukkan kepala sambil tersenyum. Ia lalu bergegas masuk masjid untuk mengimami salat. Para santri dan beberapa warga yang ingin salat Dzuhur mengikuti Kiai Jabrohim dengan tanya tanya. Rombongan itu datang tak bicara apa pun. Mereka pergi dengan satu mobil, mobil mewah di depan masjid masih teronggok seperti hendak diikutkan sebuah pameran mobil mewah.

Ternyata orang-orang dalam rombongan itu tidak pernah bosan dan kapok. Mereka datang lagi seminggu kemudian. Rombongan yang lain lalu datang ke pesantren, berganti-ganti. Orang-orangnya pun berbeda-beda, kadang laki semua, kadng bercampur perempuan. Rombongan-rombongan itu datang dengan mulut tersenyum. Tapi mereka pulang dengan wajah seperti rembulan kehilangann cahanya. Sebagian dari mereka menumpang salat di masjid, sebagian lainnya hanya duduk-duduk di serambi masjid. Selanjutnya, rombongan-rombongan itu datang hampir setiap hari. Tak jarang, sehari datang tiga hingga empat rombongan. Selalu seperti itu hingga kegemparan itu pun terjadi. Kiai Jabrohim tiba-tiba saja membakar masjid di Pesantren itu.


Tak hanya para santri yang kaget. Tapi warga yang tinggal di sekitar pensantren pun herran tak alang-kepalang. Api itu belum seluruhnya padam, meski pembakaran masjid itu sudah lewat sehari, tidak ada yang berani mematikan api pembakaran. Tidak ada yang nekat memanggil polisi ataupun petugas pemadam kebarakan. Kiai Jabrohm lalu menganjurkan para santri untuk pulang kampung. Kiai Jabrohim ingin menyendiri, pesantren pun diliburkan total hingga ada pemberitahuan selanjutnya. Para santri telah pergi ke rumah masing-masing. Hanya seorang santri senior yang mendampingi Kiai Jabrohim. Soleh, nama sanri senior itu. Kiai Jabrohim tegap menatap reruntuhan masjid, di sampingnya Sholeh berdiri dengan tawaduk, mendampingin Kiainya.

“Kenapa Kiai membakarnya?” Sholeh memecah keheningaan.
“Masjid itu, maksudmu?”
“Ya, Kiai.”
“Engkau tahu, apa maksudku membakar masjid itu?”
“Tuhan yang lebih tahu, Kiai.”
“Masjid itu sudah saatnya dirobohkan....”
“Maksud Kiai?”
“Masjid itu sudah tidak suci lagi!”
“Para santri bisa membersihkannya tiap hari,, Kiai....”
“Air suci sudah tidak bisa lagi digunakan untuk mensucikan masjid itu. Masjid itu tidak najis oleh tahi kucing apalagi tahi tikus. Tidak pula kencing anak kecil, cipratan darah dan nanah. Kemarin, orang-orang yang datang dengan mobil mewah itu telah membuang tahi mereka di dalam masjid. Sebelum pulang, mereka memercikkan keringat ke seluruh dinding masjid. Mereka kumpulkan tahi mereka, tahi keluarga mereka, tahi teman-teman mereka lalu menumpahkannya di masjid. Setiap saat, orang-orang itu memeras keringat, lalu keringat keluarganya, keringat teman-temannya, da keringat orang-orang kecil di sekelliling mereka. Keringat orang-orang yang datang dengan mobil itu sudah tidak memiliki bau lagi....”
“Maksud Kiai?”
“Bau keringat mereka tidak tersedia lagi di dunia ini!”

Sholeh terrdiam. Agak bingung dia mencerna ucapan Kiai yang sangat dihormati dan diseganinya itu. Baru kali ini Sholeh sulit mencerna ucapan kiainya. Bertahun-tahun Sholeh mengaji, tapi cuapan Kiai Jabrohim saat ini lebih sulit daripada menghapal rausan Alfiyah yang hingga kini sangat dibanggakannya. Kiai Jabrohim masih tetap tegap menapat sisa pembakarnn masjid. Sholeh juga tegak di sampingnya. Mulut mereka tersenyum menatap ke depan.


Sebagian abu bekas pembakaran terbang terbawa angin. Sebagian lainnya, melayang menuju sebuah mobil mewah yang masuk ke halaman pesantren. Mobil itu berhenti, tapi segera keluar kembali dari halaman pesantren. Tanpa tersenyum dan tanpa kata-kata.

(M. Thobroni, “Kiai Jabrohim Membakar Masjid”,

dalam kumpulan cerpen Daftar Hitam Dendam, 2003)
banner
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: