Mengenal Hakikat Tujuan Hidup

Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan (Al-Hadid:20)

Manusia adalah makhluk yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai makhluk yang terbaik dalam penciptaannya (lihat Q.S. At-Tin :4) dan juga makhluk yang diciptakan dalam keadaan lemah (lihat Q.S. An-Nisa:28). Hal ini bukan berarti terdapat kontradiksi dalam kedua ayat Al-Qur’an tersebut, akan tetapi merupakan suatu bentuk pendidikan kepada kita untuk meresapi dan mendalami hakikat hidup yang kita jalani.


Perlu kiranya kita memahai bahwa hidup di dunia ini hanyalah ujian bagi manusia, dalam ayat lain Allah SWT mmenjelaskan bahwa Dia (Allah SWT) menciptakan mati dan hidup hanya untuk menguji manusia siapa di antara mereka yang terbaik amalnya (lihat Q.S. Al-Mulk:2).

Coba kita renungi bersama bahwa hidup di dunia merupakan suatu persinggahan sesaat dan setelah itu akan melanjutkan perjalanan hingga sampai pada Allah, yakni kita kembali kehadirat-Nya (Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un). Bukti nyata yang dapat kita saksikan dengan mata kepala sendiri (kalau mau merenunginya) sebagai simbol perpindahan dari alam kehidupan satu menuju alam kehidupan lainnya adalah kelahiran dan kematian. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan kelahiran adalah simbol perpindahan kehidupan manusia dari alam rahim menuju alam yang penuh dengan tipu muslihat (dunia), begitu pula dengan kematian merupakan simbol perpindahan kehidupan manusia dari alam dunia menuju alam barzakh (alam kubur).

Namun kenyataan hidup yang kita lalui sebagai manusia penuh dengan kelalaian. Sesuai dengan nama manusia. Kata mnausia bila kita preteli dan dilihat dari aspkek kebahasaan dalam tatanan bahasa arab akan kita jumpai kata man-usia kosa kata ini merupakan kosa kata dari bahasa arab yang memiliki arti orang yang dibuat lupa, atau orang yang lupa (Lihat Kaidah bina’ majhul dalam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mukhtashor Jiddan (Surabaya : Maktabah al-Hidayah, 1352 H), 13.
Jelaslah di sini bahwa manusia senantisa lupa akan hakikat tujuan hidupnya untuk menghadap Allah (kembali kepada-Nya). Manusia senantiasa lalai dan tertipu dengan hingar bingar silau dunia yang semata-mata hanyalah permainan yang melalaikan sebagai mana Q.S. Al-Hadid di atas. Terjebak pada alam sebatas persinggahan yang menyuguhkn berbagai kenyaman, keindahan, keteranan, kegagahan, pangkat dan jabatan serta menawarkan ketinggian derajat dunia, keangkuhan dan kesombongan yang ke semuanya itu hanyalah sesaat, hanya dinikmati beberapa tahun saja tidak kekal dan tidak pula abadi.

Pembaca yang budiman, marilah kita senantiasa renungi sesaat, selama kita terlahir ke dunia fana ini sudahkah kita memperbanyak amal sholeh dan meninggalkan kecintaan kita kepada dunia, sudahkah kita tawadhu’ keada Allah dikala dunia menyuguhkan berbagai janji-janji kenyamanan yang sangat menggiurkan, jabatan yang tinggi, uang yang berlimpah, mobil yang kinclong mengkilab yang kita dibuat terpesona. Itulah ajakan dunia yang menggiurkan nafsu dan menutup mata hati untuk mendekat kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dan paling sempurna, dan orang terdekat beliau adlah para sahabat, oleh karena itu sejenak kita intai bagaimana perilaku sahabat setelah ditinggal wafat Rasul agung manusia sempurna. Sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat dikaruniai berbagai harta melimpah sejak berbagai kerajaan adikuasa (persi, romawi) jatuh di bawah pemerintahaan kekuasaan Islam, berbagai harta melimpah ruah namun para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, banyak mengorbankan harta benda serta jiwa di jalan Allah SWT.

Selain keempat sahabat tersebut mash banyak pula sahabat Rasul yang zuhud terhadap harta dan jabatan, apa lagi ketenaran, keangkuhan dan kesombongan. Setelah Amirul Mukminin Umar Bin Al-Khattab berhasil melakukan kspansi (perluasan) wilayah kekuasaan Islam tidak hanya peperangan terus-menerus yang diatur melainkan mengatur kehidupan masyarakat menjadi hal utama.

Dipilih berbagai Air atau gubernur di berbagai wilayah kekuasaanya namun tidak sedikit sahabat yang menlak diberi jabatan oleh Amirul Mukminin kala itu. Di antara sahabat yang menilak jabatan dan selalu mengorbankan hartanya demi kemashlahatan umat antaranya adalah Salman Al-Farisi putra bupati (bahasa sekarang) rela meninggalkan kemegahan dunia karena mencaci kebenaran agama Islam hingga di hari tuanya tetap tidak berpengaruh dengan pengaruh dunia, meski dapat gaji dari Baitul mall tapi semua gajinya disedekahkan. Sedangkan kebutuhannyanya ia dapatkan dengan usaha sendir, Abu Dzar Al-Ghifari menentang atas kebijakan muawiyah sebagai gubernur Syiria yang dianngap tidak berpihak kepada rakyat miskin, karena sepinggal Kholifah (Abu Bakar) dan Amirul Mukminin (Umar) terjadi sedikit penyelewengan yang jauh dari pantuan Kholifah Ustman RA.

Abdullah ibn Umar adalah seorang saudagar kaya raya dan juga hartanya berlimpa karena tunjangan dari baitul mall, namun bila dapat tunjangan hari ini baitul esok hari uang itu habis dan bahkan untuk keperluan makanan untanya Ibn mar berutang, hal ini tidak lain adalah karena semua hartanya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Ketika Kholifan Ustman menawarkan jabatan gubernur kepadanya, ia menolak dengan tegas. Selain sahabat di asat banyak juga sahabay yang tidak rakus terhadap harta dunia, jabatan, dan ketenaran atau popularitas seperti Sa’ad ib Abi Waqash, Shuhaib ibn Sinan, Hamzah ibn Abdulmuthalib, Abdulah ibn Mas’ud, Abu Ubaidah ibnu Al Jarrah dan sebagainya. (Sebagai referensi lihat Khalid Muhammad Kholid, Rajalun haularrasul. Alih bahasa Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: Diponegoro, 2016)).

Agar kita semua tidak tertipu dengan kemegahan dan keindahan dunia yang sesaat mari kita tingkatkan amal sholeh dengan banyak melirik tetannga sebelah kanan-kiri kita apakah mereka semua membutuhkan bantuan kita, atau kita lihat di jalanan masih banyak para pengemis yang berkeliaran, ari bersama kita sentuh mereka baik secara pendidikan agar tidak mengemis atau kita buka srana kerja seluas-luasnya untuk menompang kreativitas mereka dalam berkarya, selain itu gunakan harta yang kita miliki ssuai dengan kebutuhan bukan mengukur terhadap keinginan. Sebab di balik berlimahanya harta yang kita miliki bersemayan hak-hak fakir miskin (derajat muttaqin yaitu wamimmaa razaqnqqhum yunfiqun /Al –Baqorah : 3 dan agar tidak tergolong pendusta agama : wala yahudu ala tho’amil miskin/  Al- Ma’un :3).

Begitu pula dengan para penguasa baik di tataran tingkat tinggi dan tingkatt terendah yang itu dipercaya untuk menjadi pelayan dan pengayom rakyat, perhatikanlah hak-hak rakyat, jangan hanya memikirkan kedudukan dan jabatan untuk memperkaya diri dengan bertindak di luar peraturan perundang-undangan.

Dengan begitu kita semua akan melatih diri untuk tidak lebih mementingkan hal-hal yang bersifat sementara (dunia), dan tidak mencintainya berlebihan karena setelah kehidupan dunia yang dilalui ini kita semua akan hijrah di negeri akhirat tempat segaa keabadian. Dengan bekal hiidup di dunia sekarang akan mengantarkan kita dan menjadi penentu antara mendapat kebahagiaan abadi (Aaminn...) ataukah kecelakanaan yang besar denga menerma kesengsaraan yakni siksa selama-lamanya (Naudzubillah).

Wallahu a’lam,...

Penulis : M. Sofiatul, S. Sos
Yayasan Masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember

Edisi 1075 – 09 Februari 2018
banner
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: