Berubah Lebih Baik


“Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah”
(Rasulullah Salallahu alaihi Wassalam).

Malam itu suasana sangat cerah tanpa awan menggelayut menutupi bintang. Namun pada malam yang cerah itu pula tengah berlangsung sebuah makar keji untuk membunuh sang manusia pilihan, Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam,
upaya pembunuhan ini dilakukan untuk mencegah Nabi Muhammad Salallahu ‘Alahi Wassalam untuk hijrah ke Yatsrib guna menyebarkan dakwahnya. Ketika saatnya tiba, pemuda-pemuda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Rasulullah di malam itu sudah mengepung rumah beliau. Pada saat bersamaan Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk memakai jubahnya yang berwarna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi Sallahu A’laihi Wassalam meminta Ali agar tinggal dulu di Makkah untuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksanakan hijrah.

Menjelang larut malam untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah bersama dengan sahabat tercintanya Abu Bakar Ash Shiddiq memutuskan untuk menempuh jalan lain, rute yang berbeda dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju ke Madinah. Jalur yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari ruma beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah bertolak belakang dengan rute ke Madinah yang berada disebelah utara Makkah.

Para pemuda Quraisy yang berencana menyergap Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam pun kemudian memasuki rumah beliau. Namun alangkah terkejutnya mereka, karena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinaan dan keimanan.

Seblum melangkahkan kaki meninggalkan kota tempat tinggalnya, Rasulullah menatap Makkah dari kejauhan. Dengan menahan air mata kepedihan, beliau berucap lirih, “Demi Allah, engkaulah bagian dari bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata aku tidak diusir, aku takkan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

Gua Tsur adalah sebuah ceruk batu sempit dan jarang disinggahi manusia yang berada di Selatan Makkah. Maka sejak malam itu hingga tiga hari berikutnya Rasulullah berdiaam di Gua Tsur bersama Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali biin Abi Thalib, Abdullah dan Asma (Keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Di dalam gua, Abu Bakar kerap merasa khawatir. Apalagi mendengar derap langkah orang-orang Quraisy yang mencari mereka. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya ?”

Beliau menjawab dengan baik bertanya, “Apa yang ada di benakmu jika keduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita ?”
Maka turunlah firman Allah, yang artinya :
“Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedangkan dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada temannya, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah maha perkasa dan Bijaksana.” (Qs. At-Taubah [9]:40)

Setelah tiga malam berada di gua, pada malam Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijjriyah, atau pada tanggal 16 September 622 M saat keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma putri Abu Bakar pun datang membawakan makanan. Dikisahkan, untuk menyembunyikan makanan untuk ayahanda tercinta dan Rasulullah, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia diberi nama Dzat an Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Menjelang siang Rasulullah Salaallahu ‘Alahi Wassalam, Abu Bakar ra, Amir bin Fuhairah beserta seorang penunjuk jalan yang bernama Abdulah bin Uraiqth berangkat menuju Madinah, Rasulullah Salallahu ‘Alahai Wassalam duduk diatas unta, yang dalam kitab Tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa.”

Selama tujuh hari Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassakam bersama Abu Bakar, Amir dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siaang hari karena panas yang membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasulullah dan Sahabaynya bertegih hati dan merasakanan damai yang meliputi.


Sambutan Penuh Suka Cita

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke 14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M. Rasulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Kemudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, sementara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum pernah melihat dan bertemu Rasulullah mengira bahwa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.

Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera memanyungi beliau dengan jubahnya. Saat itulah mereka tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalama. Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Isam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksanakan di tempat Bani Salim bin Auf. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”. Pada hari Jum’at itu pula beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Berita tentang hijrahnya Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalama yang akan menyusul kaum muslim Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib (Madinah). Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi Sallahu ‘Alaihi Wassalama. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Singkat cerita Rasulullah tiba di Madinah dan disambut dengan suka cita. Begitu Rasulullah tiba di Madinah, dimulailah fase kehidupan baru dalam sejarah perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lewatkan bersama para sahabat. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya agama baru (Islam). Tidak jarang beliau tutut serta ke medan perang untuk menyabung nyawa demi tegaknya agama Allah subhanahu Wa Ta’ala, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagaian besar penduduk dunia saat ini. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita ?

Jika dicermati dan direngi dengan seksama apa yang terjadi dalam hijrah tersebut, maka jika kemudian momentum hijrah ini dipilih sebagai titik awal perhitungan kalender Islam sangatlah tepat. Di mana penetapan tersebut didasarkan pada esensi dari peristiwa hijrah itu sendiri, yaitu suatu gerakan umat seecara kolektif dari dunia kegelapan kufur menuju kondisi yang lebih baik (Islam).

Daya revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika umat tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa sepakat bahwa pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang kian bertambah. Manusia tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin secara perlahan mengalami kerusakan mekanis, aus, berkarat dan sebagainya, maka semua itu beda dengan manusia. Hakikatnya usia manusia teerletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari masa ke masa.

Jika asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban manusia yang kian menua seharusnya menuju pematangan atau kedewasaan. Namun, tampaknya yang terjadi tidak sealu demikian. Manusia kini memang banyak mengaku dirinya modern, namun sering alpa jika mereka adalah bagian dari alam semesta yang fana.

Wallahu a’lam bish Shawab

Jember, 13 Oktober 2017
Sumber :Majalah Yatim Mandiri, Edisi Oktober 2017
Media Dakwah Diniyah & Info Masjid Al-Ikhwan
banner
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: